(Di pintu gerbang danau Lut Tawar, Takengon Aceh Tengah, 2 Juni 2007)
Luar biasa.... Ini baru danau yang bisa menyaingi Danau Toba...decakku ketika pertama kali memasuki kota Takengon. Luar biasa indahnya... Apalagi kita bisa berkeliling danau ini dengan mudah karena sudah ada jalan yang melingkari pinggang bukit yang mengelilingi danau Lut Tawar ini.
Namun sayangnya, sebagai tempat wisata, danau ini ternyata belum begitu siap. Kalau danau dan alamnya sih sudah siap sejak lama. Namun infrastruktur pendukungnya yang belum memadai dan juga orang-orang yang tinggal belum terlalu siap untuk menerima warga luar yang hadir untuk mengagumi keindahan alam kampung mereka. Walaupun bagiku hal itu tidak mempengaruhi kenikmatanku menikmati keindahan danau tersebut.
Ketika datang pertama sekali, hampir saja aku kecewa. Bukan apa-apa, hotel yang kami rencanakan untuk ditumpangi selama liburan menolak kami karena sudah penuh. Yah salah kami juga sih karena tidak pesan jauh-jauh hari sebelumnya. Padahal inilah satu-satunya hotel yang berada di bibir danau. Sayang sekali, padahal masih banyak tanah kosong di tepi danau yang cocok untuk dibangun penginapan. Namun sepertinya inisiatif itu masih jauh.
Tapi syukurlah, akhirnya kami dapat hotel yang lumayan bagus. Hotel Mahara namanya. Hotelnya sih biasa-biasa saja, hotel bisnis di tengah kota. Bukan hotel wisata. Namun kami sedikit terhibur karena restorannya terletak di lantai tiga dengan pemandangan danau dan bukit-bukitnya. Jadi selain disuguhi makan pagi, kami juga disuguhi pemandangan indah pagi hari danau Lut Tawar. Selain itu karena kami datang pada saat long weekend, mungkin itulah satu-satunya tempat yang tersedia bagi kami untuk menginap. Kalau tidak terpaksa tidur di Mesjid. Jadi hotel itu sangat berharga bagi kami.
(Pemandangan pagi hari dari restoran Hotel Mahara)
Kebetulan pada saat liburan itu sedang diadakan acara promosi pariwisata di salah satu kecamatan yang ada di sekitar danau Lut Tawar, tepatnya di kecamatan Bintang. Ini merupakan satu keberuntungan lagi bagi kami karena berkesempatan menyaksikan acara tradisional yang disajikan oleh masyarakat. Yang paling menarik adalah pacuan kuda tradisional dan Didong. Pacuan kuda ini sangat menarik karena tidak dilakukan di lintasan seperti layaknya pacuan kuda lain. Namun dilakukan di tepi danau. Dua ekor kuda dengan jokinya dipacu berlari di pinggir danau dengan kedalaman air sekitar selutut.
Sedangkan Didong adalah kesenian tradisional yang dilakukan secara berkelompok. Sekelompok anak-anak laki-laki bersyair dengan iringan tabuhan bantal kecil dan tepukan tangan yang bervariasi. Cukup unik dan menarik bunyi-bunyi yang dikeluarkan. Sedang syairnya sendiri kurang paham karena menggunakan bahasa Gayo. Kalau tidak salah syairnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama atau hal-hal baik lainnya. Gerakannya juga sangat sederhana, goyang ke kiri dan ke kanan karena para pemainnya bersyair sambil bersila.
(Memandikan kuda di danau sebelum dipacu. Tepi danau ini adalah lintasan pacuan kuda)
Namun sayang sekali acara yang seharusnya menarik untuk wisatawan jadi hambar karena masih dikelola dengan sangat sederhana, kalau tidak mau dikatakan kampungan. Maklum mungkin karena ini event pertama dan dilakukan karena ada bantuan dari BRR NAD-Nias. Padahal jika para pegawai di dinas pariwisata setempat bisa lebih kreatif, ini akan menjadi sangat menarik. Selain pacuan kuda dan didong, mereka juga mengadakan lomba gasing. layangan, renang dan pacu sampan.
(Desa Bintang tempat pacuan kuda dilakukan)
Takengon dan Lut Tawarnya juga sangat terkenal dengan kopi. Hampir setiap sudut kita melihat tanaman kopi. Sepertinya tidak ada tempat yang tidak dimanfaatkan untuk ditanam kopi. Kualitas kopinya sendiri sangat bagus dan sudah diekspor ke manca negara. Bahkan Starbuck juga mengambil kopi asal Gayo sebagai salah satu produknya. Kopi disini sudah ditanam sejak jaman kolonial sebagai komoditas yang sangat diandalkan dari dataran tinggi Gayo. Namun jangan ditanya susahnya mencari kopi asli Gayo di sini untuk dibawa pulang. Lebih mudah mencarinya di banda Aceh di supermarket dari pada di Gayo. Memang ada, tapi langsung di penggilingan kopi dan belum ada kemasannya. Kami juga sempat menikmati kopi Gayo di salah satu kedai kopi di kota Takengon. Cukup lezat dan cukup membuat kepala jadi berat.
(Menikmati kopi Gayo di salah satu sudut kota Takengon)
Menikmati dataran tinggi Gayo tidak lengkap jika tidak menikmati makanan khasnya. Salah satu yang sempat kami cicipi adalah Asam Jeng. Ini adalah ikan air tawar (ikan Nilai atau mas) yang dimasak asam pedas. Namun karena ada rempah-rempah lokal yang khas membuat asam pedas ini menjadi berbeda dan sangat khas. Apalagi disajikan panas-panas dan langsung di atas periuk tanah liat. Mak nyus rasanya. Kafe Idola di salah satu sudut kota Takengon menyediakan masakan ini. Selain itu ada juga ikan Depik. Ikan ini adalah ikan khas danau Lut Tawar dan hanya ada di danau ini. Ikan ini enak digoreng dengan tepung. Walaupun rasanya agak pahit jika termakan bagian perutnya, namun rasanya sangat gurih. Ikan ini juga ada dalam bentuk kering untuk oleh-oleh. Namun harganya cukup mahal, sekitar 70 ribu satu bambu (dua liter). Kami menikmati ikan depik goreng ini di salah satu rumah makan di Kecamatan Bintang, dekat terminal bus.
Begitulah pengalaman di dataran tinggi Gayo. Sungguh mengesankan dan takkan terlupakan. Walaupun harus berkendaraan selama 7,5 jam dari Banda Aceh. Namun terbayar dengan keindahannya serta kelezatan masakan dan kopinya. Suatu saat kami akan datang lagi kesana dan menikmati keindahannya. Semoga ketika kami datang lagi, Takengon bisa lebih siap untuk menjadi kota wisata.